Rabu, 25 Maret 2009

Madzhab Imam syafi'i

Madzhab Syafi’i dibangun oleh Muhamad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan di Syiria, tetapi kemudian berpindah ke Mekkah bersama ibunya. Di Mekkah belajar tentang ilmu dasar kepada mufti Mekkah, Muslim bin Khalid az-Zani. Kemudian ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Selanjutnya ke Irak belajar kepada Muhammad bin Hassan. Dua orang inilah guru yang cukup mempengaruhi Imam asy-Syafi’i. Guru pertama cenderung kepada hadis, sedangkan yang kedua cenderung kepada ra’yu.
Setelah belajar kepada Muhammad bin Hasan beliau sempat kembali ke Mekkah. Tetapi kemudian kemudian pergi ke Irak lagi ntuk melanjutkan diskusinya dengan ulama’ Irak mengenai fiqh. Beliau tinggal di Irak untuk yang kedua kalinya itu tidak lama karena khalifah cenderung kepada Mu’tazilah dan memaksakan kehendaknya, maka akhirnya beliau melarikan diri ke Mesir.
Dalam wacana pemikiran hukum Islam (fiqh), Imam syafi’i termasuk tokoh yang berupaya mensintesakan antara pemikiran ahl al-hadis dengan ahl ar-ra’yi.
Dasar istinbath hukum Syafi’i adalah, al-Qur’an, Hadis, Ijma’ shahabat, qaul shahabat, dan qiyas. (Mubarak,2002:105) Adanya qaul shahabat menunjukkan bahwa jika sesuatu diperselisihkan oleh para shahabat, maka beliau mengambil sikap memilih pendapat di antara pendapat para shahabat yang relefan.
Langkah-langkah ijtihad yang perlu diperhatikan antara lain, beliau melakukan qiyas terhadap hal-hal yang tidak diterangkan di dalam al-Qur’an dan hadis. Hanya saja beliau menolak mengqiyaskan hal pokok terhadap hal yang pokok. Hal yang bersifat pokok harus diterima bila kaifa (tanpa perlu bertanya bagaimana dan mengapa). Pertanyaan seperti tersebut hanya boleh ditanyakan kepada hal-hal yang bersifat cabang. Hadis yang beliau gunakan hanyalah hadis shahih, dan hadis yang munqathi’ tidak dipakai sama sekali. Hadis yang dipakai jika mengandung makna ganda maka digunakan makna dzahir. (Mubarak, 2002:104-105)
Imam asy-Syafi’i memiliki dua produk ijtihad yang terkenal, produk yang awal dinamakan qaul qadim, sedangkan produk yang akhir dinamakan qaul jadid. Qaul qadim adalah hasil ijtihad beliau ketika tinggal di Irak. Dalam qaul qadim pemikiran asy-Syafi’i bayak dipengaruhi oleh ra’yu, karena lingkungan Irak adalah lingkungan ahl ar-ra’yi.
Sedangkan qaul jadid merupakan koreksi terhadap qaul qadim, setelah beliau mendengarkan beberapa hadis yang beredar di Mesir tetapi tidak beliau temui di Irak maupun Hijaz. Saat itu karena pembukuan hadis masih dalam proses yang belum sempurna maka ada hadis beredar di suatu wilayah tetapi tidak bisa ditemukan di wilayah lain adalah hal yang sangat memungkinkan. Selain itu Syafi’i juga melihat praktek kehidupan di Mesir yang cukup berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di Baghdad, (Mubarak, 2000:107) sehingga dalam berijtihad pun hal ini dipertimbangkan. Karena itulah lahirnya qaul jadid bisa dikatakan sebagai suatu refleksi dari kehidupan sosial yang ditemui oleh as-Syafi’i.
Perjalanan intelektual Syafi’i, dari pengikut madzhab Maliki, kemudian berkenalan dengan pandangan madzhab Hanafi ia membangun fiqh tersendiri yang kemudian dikenal dengan Qaul Qadim, dan setelah berhijrah ke Mesir ia membangun ijtihad baru yang kemudian dikenal dengan istilah qaul jadid, adalah sangat menarik. Yang paling menarik sesungguhnya adalah upaya Syafi’i untuk mensintesakan madzhab hadis dengan ra’yu. Namun sintesa ini tidak berhasil karena fiqh Syafi’i lebih cenderung kepada aliran hadis, meskipun corak ra’yunya lebih kuat dibandingkan dengan fiqh Maliki. Sementara kitab “al-Umm” sebagai madzhab yang baru imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir, Al-Muzani, Al-Buwaithi dan Ar-Robi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’I mengatakan tentang madzhabnya, “Jika sebuah hadis shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok.

panduan ibadah haji